Biang Kerok yang Bikin Industri Hotel di Jakarta Babak Belur

Industri Hotel di Jakarta

Industri Hotel di Jakarta – Jakarta pernah menjadi primadona industri perhotelan di Indonesia. Hotel-hotel bintang lima berjejer megah, tamu asing silih berganti, dan para pelancong domestik pun tak ragu merogoh kocek demi bermalam di pusat kota. Tapi itu dulu. Kini, suasana berubah drastis. Lobi hotel yang biasanya ramai kini lengang, kamar-kamar mewah kosong tak berpenghuni, dan banyak hotel yang diam-diam menjual aset atau bahkan gulung tikar. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang menjadi biang kerok utama kehancuran perlahan ini?

Menjamurnya Hotel Ilegal dan Tak Berizin

Salah satu pukulan telak datang dari menjamurnya hotel-hotel ilegal dan tidak berizin. Mereka bermunculan bak jamur di musim hujan, menawarkan harga miring jauh di bawah standar hotel resmi. Tanpa harus patuh pada regulasi ketat seperti pajak hotel, standar keamanan, hingga sertifikasi layanan, mereka bebas beroperasi dan menggerus pasar yang seharusnya menjadi milik hotel-hotel legal.

Hotel-hotel legal pun jadi tak berdaya. Mereka harus tetap membayar pajak, mengikuti regulasi ketat dari pemerintah, dan menjaga kualitas layanan. Tapi ketika konsumen lebih memilih harga murah tanpa peduli soal keamanan dan kenyamanan, siapa yang bisa disalahkan? Pemerintah yang membiarkan praktik ini berlangsung? Atau masyarakat yang makin permisif terhadap hal-hal yang “abal-abal”?

Kebijakan Pajak dan Retribusi yang Mencekik

Tak cukup dengan persaingan tak sehat, pemerintah daerah pun seakan menambah beban dengan kebijakan pajak dan retribusi yang semakin tinggi. Pajak hiburan, pajak hotel, dan retribusi lainnya perlahan-lahan berubah menjadi beban yang mencekik leher industri. Bukannya diberi stimulus atau relaksasi, para pelaku usaha malah harus putar otak agar bisnis tetap hidup di tengah tekanan ini.

Baca juga: https://cambriacoveapartments.com/

Ironisnya, pendapatan dari sektor perhotelan terus dituntut naik, tapi fasilitas dan dukungan dari pemerintah tak sebanding. Ketika pandemi menghantam, banyak hotel berharap pada insentif dan keringanan. Nyatanya? Banyak yang hanya mendapatkan janji dan angin surga, tanpa realisasi konkret.

Disrupsi Digital dan Aplikasi Penginapan Murah

Era digital yang seharusnya jadi peluang, justru menjadi pisau bermata dua. Aplikasi penginapan murah seperti OYO, RedDoorz, hingga Airy (yang kini sudah tutup), masuk dengan agresif. Mereka menekan harga semurah mungkin, bahkan terkadang di bawah biaya operasional dasar. Akibatnya, pasar menjadi kacau balau. Perang tarif tidak sehat tak bisa di hindari.

Hotel-hotel konvensional yang beroperasi dengan sistem dan protokol layanan lengkap, justru di paksa ikut dalam arus penurunan harga demi tetap kompetitif. Tapi sampai kapan mereka bisa bertahan? Dengan operasional harian yang tidak bisa di tekan seenaknya, hotel-hotel besar mulai megap-megap, menanggung kerugian demi kerugian.

Perubahan Gaya Hidup dan Munculnya Coworking Space

Hotel bukan cuma tempat tidur. Dulu, hotel jadi tempat pertemuan bisnis, acara keluarga, bahkan ruang kerja. Tapi perubahan gaya hidup pascapandemi membuat orang lebih memilih bekerja dari rumah atau memanfaatkan coworking space yang lebih fleksibel dan murah. Alhasil, fungsi hotel sebagai tempat berkegiatan juga mulai ditinggalkan.

Event-event besar yang dulu jadi nyawa hotel—seperti seminar, pernikahan, hingga gathering perusahaan—kini banyak beralih ke tempat alternatif yang lebih ekonomis. Ballroom hotel yang dulu penuh jadwal, kini lebih sering kosong. Pendapatan dari sewa ruang pun menyusut drastis.

Jakarta Kehilangan Daya Tarik?

Terakhir, tak bisa dipungkiri, Jakarta mulai kehilangan daya tarik sebagai destinasi wisata atau bisnis. Macet parah, polusi udara, dan pembangunan infrastruktur yang setengah matang membuat wisatawan berpikir dua kali. Jika dulu Jakarta menjadi gerbang utama wisatawan mancanegara, sekarang mereka lebih memilih kota-kota seperti Bandung, Yogyakarta, bahkan Bali yang lebih nyaman dan bersahabat.

Apa yang tersisa untuk Jakarta jika industri hotelnya hancur? Bukan hanya soal bisnis yang bangkrut, tapi juga lapangan kerja yang hilang, pemasukan pajak yang terjun bebas, dan rusaknya citra kota di mata dunia. Sudah waktunya semua pihak sadar: industri hotel bukan cuma soal tidur dan kasur empuk. Ini tentang nyawa ekonomi yang tak boleh dibiarkan sekarat begitu saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *